Selanjutnya manusia mempunyai kebebasan untuk memilih jalan mana yang akan dia tempuh. Manusia punya potensi untuk menjadi jahat, sebagaimana ia juga punya potensi untuk menjadi baik.
Agama (Islam) datang untuk mempertegas konsep diri
yang positif bagi umat manusia. Manusia adalah makhluk yang termulia dari
segala ciptaan Tuhan (Q.S.17:70). Karena itu, ia diberi amanah untuk memimpin
dunia ini (Q.S.2:30). Walaupun demikian, manusia dapat pula jatuh kederjat yang
paling rendah, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal sholeh (Q.S.95:6).
Keimanan akan membimbing kita untuk membentuk konsep diri yang positif, dan
konsep diri yang positif akan melahirkan perilaku yang positif pula, yang dalam
bahasa agama disebut amal sholeh.
Tidak sedikit ayat-ayat yang terdapat dalam Al-Quran yang menyebut kata iman
dan diiringi oleh kata amal (allazina amanu wa amilus-sholihat), ini bukan saja
menunjukkan eratnya hubungan diantara keduanya, tetapi juga menunjukkan betapa
pentingnya iman dan amal tersebut, sehingga nilai seseorang ditentukan oleh
iman dan amalnya juga. Sesungguhnya Allah Taala tidak akan melihat kepada
bentuk (rupa) kamu, tidak pula keturunan (bangsa) kamu, tidak juga harta kamu;
tetapi , ia melihat kepada hati kamu dan amal perbuatan kamu.
(H.R.At-Thabrani). Semua manusia adalah sama disisi Allah, yang lebih mulia
hanyalah orang yang paling bertakwa (Q.S.49:13).
Memang diakui adanya kemungkinan seseorang akan
dapat dipengaruhi oleh lingkungan teman sepergaulannya sebagai reference group
(Q.S.2:14; 17:73; 37:51-53; 41:25; 43:67) dan bujuk rayu syaithon (Q.S.4:38;
6:43;8:48; 25:28-29; 27:24), tetapi semua itu tidak akan berbekas jika
seseorang memiliki keimanan yang tangguh (Q.S.5:105; 17:65). Itulah sebabnya
Rasulullah saw. menghabiskan masa 13 tahun di Mekah untuk menanamkan keimanan
kepada para pengikutnya.
Para psikolog modern dikemudian hari menyadari
betapa pentingnya nama dalam membentuk konsep diri, secara tak sadar orang akan
didorong untuk memenuhi citra (image) yang terkandung didalam namanya. TeoriLabelling (penamaan) menjelaskan
kemungkinan seseorang menjadi jahat karena masyarakat menamainya atau
menggelarinya sebagai penjahat. Berilah gelar anak anda si nakal, insya Allah
seumur hidup ia akan tetap nakal. Memang
boleh jadi orang akan berperilaku yang bertentangan dengan namanya. Amin
mungkin menjadi penipu, tetapi nama itu akan meresahkan batinnya. Ia boleh jadi
mengganti namanya, atau mengubah perilakunya.
Islam juga menekankan pentingnya pendidikan bagi
anak-anak, terutama dalam keluarga. Pendidikan yang diterima seseorang dimasa
kecil akan dapat mempengaruhi konsep dirinya dikemudian hari. Banyak orang tua
yang kurang memahami makna pendidikan; mereka beranggapan bahwa yang dimaksud
dengan pendidikan hanyalah pendidikan yang disengaja saja (seperti mengajarkan
nilai-nilai moral kepada anak-anak, dan lain sebagainya) yang ditujukan kepada
objek didik, yaitu anak. Yang lebih penting adalah keadaan dan suasana rumah
tangga, keadaan jiwa ibu bapak,hubungan antara satu sama lainnya, dan sikap
mereka terhadap rumah tangga dan anak-anak. Segala persoalan orang tua itu akan
mempengaruhi jiwa anak-anak, dan akan ikut membentuk konsep diri mereka. Karena
itu keluarga dituntut supaya memberikan ketenteraman (sakinah), kasih sayang
(mawaddah wa rahmah) dan rasa aman kepada anak-anak. Nabi berkata: Orang yang
paling baik diantara kamu adalah orang yang paling penyayang terhadap keluarganya,
dan aku adalah orang yang paling sayang terhadap keluargaku. Beliau menunjukkan
contoh bagaimana ia menyayangi putrinya Fatimah. Pada saat anak perempuan
dipandang rendah, beliau mengangkat Fatimah. Bila nabi tengah berada dalam
majelis dan melihat Fatimah datang, ia segera bangkit. Tidak jarang beliau
mencium tangan Fatimah didepan para sahabatnya, – cium penghormatan dan kasih
sayang sekaligus. Bukan termasuk umatku orang yang tidak menghormati yang tua
dan tidak menyayangi yang kecil katanya. Tentang suasana rumah tangganya nabi
berkata: Rumah tanggaku adalah surgaku.
Bila orang tua gagal memberikan kasih sayang kepada
anak-anaknya, mereka tak akan mampu mencintai orang tua mereka. Dalam pergaulan
sosial pun mereka tak akan mampu mencitai atau menyayangi orang lain. Pada
tahun 1960-an para psikolog terpesona oleh penelitian yang dilakukan oleh Harry
Harlow, dengan memisahkan anak-anak monyet dari induknya, kemudian ia mengamati
pertumbuhannya. Monyet-monyet itu ternyata menunjukkan perilaku yang
menyimpang, selalu ketakutan, tidak dapat menyesuaikan diri, dan sangat mudah
terkena penyakit. Setelah monyet-monyet itu besar dan melahirkan pula, mereka
menjadi ibu-ibu yang kejam dan berbahaya, mereka tidak memperdulikan
anak-anaknya dan seringkali melukai mereka. Parapsikolog menyebut situasi tanpa
ibu itu dengan maternal deprivation.
Walaupun tidak diadakan percobaan terhadap anak-anak
manusia sebagaimana yang dilakukan terhadap monyet-monyet tadi, tetapi para
peneliti menemukan gejala yang sama pada anak-anak yang mengalami maternal
deprivation pada awal kehidupan mereka. Pada manusia pemisahan anak dari orang
tua ini dapat terjadi secara fisik (karena perceraian misalnya, atau meninggal)
dan dapat pula terjadi secara psikologis (tidak terpisah secara fisik, tetapi
tidak mendapat kasih sayang secara memadai), yang kedua ini disebutmasked deprivation (deprivasi
terselubung). Ini dapat terjadi misalnya karena orang tua terlalu sibuk
bekerja, sehingga tidak sempat memberikan kasih sayang mereka kepada anak-anaknya.
Anak yang mengalami deprivasi cenderung menderita kecemasan, merasa tidak
tenteram, rendah diri, kesepian, agresif, cenderung melawan orang tua, dan
pertumbuhan kepribadian mereka mengalami keterlambatan, mereka sukar belajar.
Bila berumah tangga, mereka cenderung menjadi bapak atau ibu yang tidak mampu
menyayangi anak-anaknya. James Coleman menyebut kekurangan kasih sayang
tersebut dalam Abnormal Psychology and
Modern Life, sebagai Communicable Disease (penyakit menular). Itulah
sebabnya Rasul menekankan perlunya membina kasih sayang dalam keluarga.
konsep diri terbentuk berdasarkan
proses belajar tentang nilai-nilai, sikap, peran, dan identitas dalam hubungan
interaksi simbolis antara dirinya dan berbagai kelompok primer, misalnya
keluarga. Cooley (dalam Partosuwido, 1992) menyatakan bahwa. Hubungan tatap
muka dalam kelompok primer tersebut mampu memberikan umpan balik kepada
individu tentang bagaimana penilaian orang lain terhadap dirinya. Dan dalam
proses perkembangannya, konsep diri individu dipengaruhi dan sekaligus
terdistorsi oleh penilaian dari orang lain (Sarason, 1972). Dengan demikian
bisa dikatakan bahwa proses pertumbuhan dan perkembangan individu menuju
kedewasaan sangat dipengaruhi oleh lingkungan asuhnya karena seseorang belajar
dari lingkungannya.
Konsep diri bukan merupakan faktor
bawaan. Konsep diri merupakan faktor bentukan dari pengalaman individu selama
proses perkembangan dirinya menjadi dewasa. Proses pembentukan tidak terjadi
dalam waktu singkat melainkan melalui proses interaksi secara berkesinambungan.
Burns (1979) menyatakan bahwa konsep diri berkembang terus sepanjang hidup
manusia, namun pada tahap tertentu, perkembangan konsep diri mulai berjalan
dalam tempo yang lebih lambat. Secara bertahap individu akan mengalami sensasi
dari badannya dan lingkungannya, dan individu akan mulai dapat membedakan
keduanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar